Teks foto: Sejarah jembatan Sungai Liong

Sejarah Jembatan Liong Kecamatan Bantan

Babam Suryaman
Babam Suryaman

Reporter

Jalan Liong yang membentang antara Desa Selatbaru dan Bantan Tengah, merupakan urat nadi utama transportasi bagi masyarakat desa di kecamatan Bantan. Sendi-sendi kehidupan masyarakat bergerak, seperti sektor ekonomi, pendidikan, perkebunan, transportasi maupun sektor jasa.

Seiring perjalanan waktu, sebagian besar masyarakat terutama generasi muda, tidak tahu siapa sosok sang inisiator pembukaan dan pembukaan Jalan Liong. Untuk mengungkap fakta sejarah inisiator tersebut, saya sengaja menulis sekilas sejarah pembukaan Jalan Liong, Tulisan ini pernah diterbitkan di majalah internal Humas Setda Bengkalis, namun tidak salah jika di-share via website, agar semua orang tentang sejarah yang selama ini masih terpendam.

Beberapa waktu lalu menjumpai sosok pria tua yang telah berjasa untuk kemaslahatan umum. Sosok tersebut adalah H. Bakri, tokoh sentral yang punya ide ‘gila’ tapi brilian. Meski kondisinya sudah renta, namun mantan Kepala Desa Selatbaru ini, masih lancar menceritakan tentang suka duka selama pengerjaan jalan dan jembatan Liong.

Jauh sebelum jalan dan jembatan Liong di Bantan dibangun, masyarakat desa Selatbaru yang hendak berladang, berkebun dan menoreh karet di Dusun Belas dan Mentayan (kedua dusun ini kala itu masuk wilayah desa Selatbaru) harus melintasi satu-satunya akses utama kala itu, yakni jalan Simpang Sirap–Ulupulua. Setiap hari, para petani karet dari Berancah, Jambu, Beringin dan sekitarnya, harus menempuh perjalanan lumayan jauh. Begitu juga dirasakan oleh masyarakat dusun Belas, Londang dan Mentayan, yang hendak urusan pelayanan di pemerintahan desa Selatbaru.

Melihat dan mengamati realita kehidupan di masyarakat waktu itu, pada tahun 1972 Bakri berinisiatif membuka jalan baru yang jaraknya relatif lebih dekat. Gagasan itu muncul semata-mata untuk mempersingkat jarak tempuh masyarakat yang hendak pergi ke ladang dan kebun serta berkunjung ke rumah sanak famili. Lantas gagasan ‘gila’ itu diutarakan kepada sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat.

Untuk merealisasikan gagasan membuka jalan baru di kawasan hutan Bakau Sungai Liong itu, Bakri berembug dengan sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat. Rencana awal, titik pembukaan jalan dimulai dari kawasan depan rumah Hoklai (saat ini di sekitar pasar dan lapangan bola desa Bantan Tengah). Namun setelah diperkirakan jalan tembus tidak berada di Berancah, maka rencana semula diurungkan.

Lantas Bakri berembug dan mengajak sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat untuk melakukan survei di lapangan, mereka adalah Mansyur, Abdullah, Rusban, Sayuti dan Ali Sombing seorang anggota polisi yang bertugas di Pos Polisi Selatbaru. Berbekal peralatan seadanya dan makanan, kala itu, sekitar pukul 08.00 WIB, Bakri bersama rombongan bergerak masuk ke hutan bakau yang lebat.

“Perjalanan kami merintis jalan sangat melelahkan. Kami harus bersusah payah melintasi pohon-pohon besar, seperti Bakau, Susup dan pohon lainnya. Kemudian tanah yang berlumpur dan akar-akar bakau memperlambat perjalanan kami,” ujar Bakri.

Untuk mengusir rasa lelah, lapar dan haus, Bakri dan rombongan beristirahat di antara celah-celah pohon dan akar Bakau. Ketika matahari berada di atas hari, mereka membuka bungkusan bekal makanan yang telah disiapkan dari rumah. Di atas tanah berlumpur dan berair, Bakri dan teman-temannya dengan lahap menikmati bekal yang mereka bawa.

Setelah beberapa kali beristirahat, tepat pukul 14.00 WIB atau sekitar enam jam waktu perjalanan Bakri bersama rombongan sampai di bibir Sungai Liong. Begitu berada di pinggir bibir Sungai Liong, rasa syukur dan takjub langsung menyelimuti perasaan Bakri, Mansyur, Abdullah, Rusban, Sayuti dan Ali Sombing. Meski dalam kondisi kelelahan, namun mereka tetap semangat, karena cita-cita besar mereka untuk mempersingkat jarak tempuh antara Desa Selatbaru ke Bantan Tengah, Bantan Air dan Teluk Pambang sudah berada di depan mata.

Setelah menemukan titik-titik yang bakal di buat jalan, tak berapa lama kemudian Bakri dan teman-teman kembali pulang ke rumah. Perjalanan pulang tentu lebih cepat dibandingkan saat berangkat, karena mereka sudah tahu kondisi di lapangan.

Untuk mewujudkan 'proyek gila' itu, Kepala Desa Selatbaru, Bakri langsung menggelar rapat bersama seluruh masyarakat Desa Selatbaru, tak terkecuali masyarakat yang berada di Bantan Tengah dan Mentayan. Awalnya, saat ide pembukaan jalan Liong mendapat pertentangan dari masyarakat yang hadir pada rapat, mereka menganggap ide itu merupakan ide gila dan tak mungkin mampu menembus lebatnya hutan Bakau dan ditambah lagi dengan tekstur tanah yang berlumpur.

"Saat rapat sempat terjadi perdebatan dengan masyarakat, tapi setelah saya jelaskan kondisi di lapangan dan manfaat dari pembukaan jalan Liong, akhirnya masyarakat mengerti dan sepakat bergotong royong membuka jalan Liong," ujar Bakri pernah menjabat Kepala Desa Selatbatu selama 30 tahun ini.

Pembagian tugas di lapangan dibagi berdasarkan kelompok RT (rukun tetangga) se-Desa Selatbaru. Hanya saja, untuk masyarakat Pantai Parit I, Ulu Pulau dan Simpang Sirap diberi dispensasi alias tidak ikut dalam pembukaan jalan Liong. Masyarakat di tiga kawasan ini diberi tugas khusus, seperti masyarakat Pantai Parit I diberi tugas merintis jalan ke kawasan pelabuhan saat ini. Sedangkan masyarakat Ulupulau dan Simpang Sirap bertanggungjawab merawat jalan utama yang selama ini menjadi akses Selatbaru–Bantan Tengah dan desa-desa lain.

"Waktu itu, setiap hari Sabtu seluruh warga dari Resam, Penawa Lapis, Beringin, Penawa Babon, Penawa Darat, Berancah, Seberang, Jambu hingga Belas, Londang dan Mentayan, turun bersama-sama gotong royong,” ungkap Bakri, seraya menambahkan, ketika gotong royong, biasanya masyarakat membawa bekal berupa nasi tiwol (dari bahan ubi kering bercampur sedikit nasi putih). Meski bekal yang dibawa seadanya, tapi warga tetap semangat bekerja seharian, seakan tidak kenal lelah.

Selama berada di rimbunan hutan Bakau dan pohon Susup dengan tekstur tanah berlumpur, warga khawatir dengan ancaman ular air maupun buaya dan bintang liar lainnya. Apalagi, ketika air pasang naik, terpaksa harus berjibaku di dalam air setinggi lutut bahkan di atas lutut. “Untungnya, selama gotong royong pembukaan jalan Liong tidak ada satupun warga yang terkena musibah. Kalau tidak salah, cuma satu kali terjadi kecelakaan kecil, itu pun cuma pukul besi (martel, red) jatuh ke sungai. Selebihnya tidak ada kendala,” cerita Bakri.

Pekerjaan menebang pohon, membuat parit dan membuat bodi jalan di antara lebatnya akar hutan Bakau bukan merupakan perkara gampang dan mudah, apalagi ketika air pasang naik. Warga harus pandai memainkan strategi dengan kondisi alam, jika air pasang naik dimanfaatkan untuk menyusun pohon untuk alas bodi jalan. Kemudian, begitu air pasang surut, maka pohon-pohon yang tersusun di atas bodi jalan, langsung ditimbun dengan tanah hasil galian parit dari kanan-kiri.

Disinggung mengenai biaya untuk membuatan jalan Liong, mantan Kepala Desa Selatbaru ini menceritakan, total dana yang dikeluarkan untuk pembuatan jalan Liong sebesar Rp 300 ribu, dengan rincian Rp 100 ribu berasal dari bantuan pemerintah dan Rp 200 ribu merupakan swadaya masyarakat setempat. Itu dari segi dana, sedangkan bantuan material dan moril masyarakat nilainya tak terhingga.

Setelah tiga bulan berjalan, akhirnya bodi jalan yang terbentang dari Berancah sampai kawasan Anak Kempas (Bantan Tengah) selesai dikerjakan, bahkan sudah bisa dilewati oleh warga. Tentu kondisinya masih memprihatinkan, berlumpur dan becek, tapi setidaknya jalur transportasi sudah mulai lancar. Hanya saja, kendala utama saat itu adalah Sungai Liong yang terbentang, sehingga butuh jembatan agar arus transportasi lebih lancar.

Meski dengan keterbatasan dana, pria yang terkenal tegas ini memberanikan diri membuat keputusan untuk membangun jembatan Liong. Dia melihat material dan bahan pendukung seperti kayu sesup dan lainnya, bisa dibuat untuk jembatan penghubung dari bibir sungai sisi barat menuju sisi timur. “Saking semangatnya, waktu itu saya menjual Tv (televisi) pada seorang toke di Berancah, bernama Katwan. Saya tidak ingat betul, berapa lakunya,” ungkapnya.

Berkat semangat yang kuat, bak gayung bersambut, ketika bertemu dengan Camat Bengkalis saat itu, Chairil Talib, dia pung langsung mengutarakan tentang mega proyek jembatan Liong. Ternyata inisiatif mega proyek yang diperkasai Bakri mendapat respon positif dari penguasa saat itu. Sang camat bersedia membantu dana sebesar Rp 500 ribu. Dana itu menurut Bakri, digunakan untuk membayar upah tukang dan pekerja, serta membeli alat kren pemancang tiang dan peralatan pendukung lainnya.

Untuk membuat jembatan itu, didatangkan tukang yang berpengalaman dari dari Kota Bengkalis. Kandar adalah sosok tukang dipercaya untuk mengomandoi tukang pembuatan jembatan Liong. Dibantu oleh Ginen dan lima tukang lainnya, pembuatan jembatan dikerjakan selama tiga bulan.

Bakri menceritakan, pembuatan jembatan Liong kala itu benar-benar tradisional, karena dilakukan secara manual dan alat seadanya. Sebagai contoh, balok dan kayu untuk badan jembatan, digergaji langsung di sekitar lokasi jembatan. Ini dilakukan karena pohon-pohon Sesut dari hasil tebangan pembuatan jalan melimpah. Begitu juga dengan tiang-tiang besar yang menopang jembatan, dipancang dengan peralatan berupa kren sederhana dan ditancapkan secara manual.

“Saya salut, meskipun dikerjakan dengan secara tradisional dan manual, tapi semangat mereka untuk menyelesaikan jembatan sangat tinggi. Terbukti selama tiga bulan jembatan Liong sudah selesai dan bisa dilewati oleh warga,” ujar Mbah Bakri.

Sejerah telah mencatat pembukaan jalan Liong sepanjang sekitar 3 kilometer dan pembuatan jembatan sungai Liong, memakan waktu selama 6 bulan. Alhamdulillah, berkat semangat Pak Bakri dan seluruh masyarakat Selatbatu dan Bantan Tengah yang tak pernah mengenal kata lelah, maka generasi saat bisa menikmati kelancaran arus lalu lintas antar desa di kecamatan Bantan maupun ke ibu kota kecamatan dan ibu kota Kabupaten Bengkalis.

Semoga buah dari kerja keras mereka, dibalas dengan limpahan pahala oleh Allah SWT. Insya-Allah, setiap orang yang melintasi jalan Liong akan menjadi pahala yang mengalir ke pundi-pundi amal orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan jalan Liong.


Tim Redaksi

Imam Achmadi
Imam Achmadi

Editor

Sari Delfa Ihsanni, S.S.T
Sari Delfa Ihsanni, S.S.T

Fotografer

Berita Lainnya