Teks foto:

Bahasa Melayu dan Jawi: Masa Lalu yang Masih Relevan untuk Masa Depan Bahasa Indonesia

Syahrul Nizam, S.Pd. I
Syahrul Nizam, S.Pd. I

Reporter

Jenny Rahmadani

202401023

Akuntansi Syariah

 

Bahasa Indonesia tidak lahir dari kekosongan, melainkan dari rahim Bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca di Nusantara selama berabad-abad. Fakta historis menunjukkan bahwa sekitar 80% kosakata dasar Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu (Badan Bahasa, 2023). Namun, dalam semangat modernisasi, kita sering melupakan hubungan genetik ini. Padahal, pengakuan terhadap akar Melayu justru akan memperkaya pemahaman kita tentang evolusi Bahasa Indonesia.

 

Tulisan Jawi sebagai medium tradisional Bahasa Melayu menghadapi ancaman kepunahan yang serius. Data terbaru dari Perpustakaan Nasional (2023) mengungkapkan bahwa hanya 15% naskah Jawi kuno yang telah berhasil didigitalisasi. Kondisi ini kontras dengan Malaysia, di mana Jawi tetap diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan dalam dokumen resmi tertentu. Padahal, Jawi bukan sekadar sistem tulisan, melainkan bukti kecanggihan intelektual masyarakat Melayu-Islam Nusantara (Gallop, 2021).

 

Revitalisasi Bahasa Melayu dan Jawi sebenarnya dapat memberikan manfaat konkret bagi pengembangan Bahasa Indonesia. Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia (2022) menunjukkan bahwa siswa yang mempelajari Jawi menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang etimologi kata-kata Indonesia. Kosakata Melayu klasik juga menawarkan alternatif yang lebih bernuansa lokal dibandingkan serapan asing. Misalnya, kata "tengara" (petunjuk) dan "bicara" (berdiskusi) sebenarnya lebih tepat untuk banyak konteks modern.

 

Beberapa langkah strategis dapat diambil untuk menghidupkan kembali warisan ini. Pertama, memperkenalkan modul Jawi dasar dalam kurikulum muatan lokal di daerah-daerah bekas kerajaan Melayu. Kedua, menciptakan program digitalisasi massal untuk naskah-naskah Jawi yang tersebar di berbagai koleksi pribadi. Ketiga, mengembangkan aplikasi pembelajaran interaktif yang membuat belajar Jawi lebih menarik bagi generasi muda. Pengalaman sukses revitalisasi aksara Hanacaraka di Jawa dapat menjadi model inspiratif.

 

Bahasa Indonesia tidak perlu takut kehilangan identitasnya dengan mengakui akar Melayu dan Jawi. Sebaliknya, seperti bahasa-bahasa besar dunia yang bangga dengan sejarahnya, penguatan hubungan dengan warisan linguistik ini justru akan memperkaya khazanah kebahasaan nasional. Data survei terbaru (2023) menunjukkan bahwa 70% generasi muda Indonesia mendukung pelestarian aksara tradisional - sebuah tanda bahwa momentum untuk menghidupkan kembali Jawi dan Bahasa Melayu telah tiba. 


Tim Redaksi

Diana Susanti, S.Akun
Diana Susanti, S.Akun

Editor

Diana Susanti, S.Akun
Diana Susanti, S.Akun

Fotografer

Berita Lainnya